EKA PUTRI RAHAYU
1112096000042
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
13 OKTOBER 2013
Ekaputri2808@gmail.com
ABSTRAK
Bahan
lignoselulosa memiliki potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi
seperti bioetanol. Konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol mendapat perhatian
penting karena bioetanol dapat digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar bensin
untuk keperluan transportasi. Biaya produksi etanol dari bahan lignoselulosa
relatif tinggi, sehingga upaya penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan
hidrolisis bahan lignoselulosa . Perlakuan Pendahuluan bahan lignoselulosa
untuk menghapus lignin dan hemiselulosa secara signifikan dapat meningkatkan
hidrolisis selulosa . Optimasi enzim selulase dan pengisian enzim juga dapat meningkatkan
hidrolisis. Sakarifikasi dan fermentasi simultan efektif menghilangkan glukosa,
yang adalah inhibitor untuk selulase aktivitas, sehingga meningkatkan hasil dan
laju hidrolisis selulosa.
ABSTRACT
Utilization of
lignocellulosic biomass for bioethanol production
Lignocellulosic
materials have the potential to be developed into a source of energy such as
bio-ethanol. Of many conversion processes, lignocellulosic conversion to
ethanol becomes focus of interest recently, since ethanol can be further used
as biofuel to substitute gasoline for transportation. The
cost of ethanol production from lignocellulosic materials is relatively high,
Considerable research efforts have been made to improve the hydrolysis of
lignocellulosic materials. Pretreatment of lignocellulosic materials to remove
lignin and hemicellulose can significantly enhance the hydrolysis of cellulose.
Optimization of the cellulase enzymes and the enzyme loading can also improve
the hydrolysis. Simultaneous saccharification and fermentation effectively removes
glucose, which is an inhibitor to cellulase activity, thus increasing the yield
and rate of cellulose hydrolysis.
PENDAHULUAN
Penelitian konversi bahan-bahan lignoselulosa menjadi
etanol telah banyak dilakukan dalam dua dekade terakhir. Kegiatan ini tampaknya
akan dan harus terus berlanjut dalam upaya mencari alternatif bahan bakar
pengganti minyak bumi yang semakin menipis ketersediaannya. Berdasarkan
prakiraan kebutuhan gasohol untuk kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun
2010 yang mencapai 200.000 kL, dan pada tahun 2015 dan 2020 masing-masing
600.000 dan 1,10 juta Kl (Kompas 2005).
Penggunaan etanol sebagai bahan bakar terus berkembang.
Menurut Licht (2009), pada tahun 1999 produksi bahan bakar etanol mencapai 4.972
juta galon (setara 18.819 juta liter), dan pada tahun 2008 meningkat menjadi
17.524 juta galon (setara 66.328 juta liter). Namun, biaya produksi etanol
sebagai sumber energi masih relatif tinggi dibandingkan dengan biaya produksi
bahan bakar minyak. Saat ini, biaya produksi etanol dari selulosa diperkirakan
antara USD1,15 dan USD1,43 per galon atau per 3,785 liter (DiPardo 2000).
Namun, dengan meningkatnya harga minyak bumi yang cukup tinggi akhir-akhir ini
diharapkan etanol dapat semakin bersaing dengan bahan bakar minyak.
Ada beberapa faktor yang mendorong makin intensifnya
dilakukan penelitian pemanfaatan bahan lignoselulosa menjadi sumber energi,
dalam hal ini etanol. Pertama, kebutuhan dan konsumsi energi terus meningkat
dari tahun ke tahun, sementara sumber daya alam yang dapat menghasilkan energi
makin terkuras karena sebagian besar sumber energi saat ini berasal dari sumber
daya alam yang tidak terbarukan, seperti minyak, gas, dan batu bara. Kedua,
bioetanol memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan bensin
karena dapat meningkatkan efisiensi pembakaran (Hambali et al. 2007) dan
mengurangi emisi gas rumah kaca (Costello dan Chum 1998; DiPardo 2000; Kompas
2005; Hambali et al. 2007). Ketiga, bahan lignoselulosa tersedia cukup
melimpah dan tidak digunakan sebagai bahan pangan sehingga penggunaannya
sebagai sumber energi tidak mengganggu pasokan bahan pangan. Di samping itu,
etanol juga merupakan bahan kimia yang banyak fungsinya dalam kehidupan
sehari-hari.
Senyawa lignoselulosa terdiri atas tiga komponen utama, yaitu selulosa,
hemiselulosa, dan lignin yang merupakan bahan utama penyusun dinding sel
tumbuhan. Konversi bahan lignoselulosa menjadi etanol pada dasarnya terdiri
atas tiga tahap, yaitu perlakuan pendahuluan, sakarifikasi, dan fermentasi.
Untuk memperoleh fuel-grade ethanol, dilakukan pemurnian yang terdiri
atas distilasi dan dehidrasi. Dengan mengamati potensi biomassa lignoselulosa,
perlu dilakukan pengkajian terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan para
peneliti untuk memanfaatkan bahan tersebut. Tulisan ini mengkaji pemanfaatan
biomassa lignoselulosa untuk produksi bioetanol.
PERLAKUAN PENDAHULUAN
Tujuan dari perlakuan pendahuluan adalah untuk menghilangkan lignin dan hemiselulosa,
mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Perlakuan
pendahuluan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) meningkatkan
pembentukan gula atau kemampuan untuk kemudian membentuk gula oleh hidrolisis
enzimatik, (2) menghindari degradasi atau kerugian karbohidrat, (3) menghindari
pembentukan produk sampingan inhibitor untuk hidrolisis berikutnya dan
fermentasi proses, dan (4) biaya efektif. Perlakuan Pendahuluan bahan Lignoselulosa
dilihat pada Tabel 1.
SAKARIFISASI
Pada
tahap sakarifikasi, selulosa diubah menjadi selobiosa dan selanjutnya menjadi gula-gula
sederhana seperti glukosa. Hidrolisis selulosa dilakukan secara enzimatis. Proses
hidrolisis secara enzimatis biasanya berlangsung pada kondisi yang ringan (pH
sekitar 4,80 dan suhu 45–50°C) dan tidak menimbulkan masalah korosi. Kelemahannya
adalah harga enzim cukup mahal. Komponen biaya enzim dapat mencapai 53–65% dari
biaya bahan kimia, dan biaya bahan kimia sekitar 30% dari biaya total.
Enzim
selulase biasanya merupakan campuran dari beberapa enzim, Sedikitnya ada tiga
kelompok enzim yang terlibat dalam proses hidrolisis selulosa, yaitu 1)
endoglukanase yang bekerja pada
wilayah serat selulosa yang mempunyai kristalinitas rendah untuk memecah
selulosa secara acak dan membentuk ujung rantai yang bebas, 2) eksoglukanase
atau selobiohidrolase yang mendegradasi lebih lanjut molekul tersebut dengan
memindahkan unit-unit selobiosa dari ujungujung rantai yang bebas, dan 3) β-glukosidase
yang menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Jumlah enzim yang diperlukan
untuk hidrolisis selulosa berbeda-beda, bergantung pada kadar padatan tidak
larut air (water insoluble solids) pada bahan yang akan dihidrolisis.
Sampai tahap tertentu, semakin banyak selulase yang digunakan, semakin tinggi rendemen
dan kecepatan hidrolisis, namun juga meningkatkan biaya proses. Hidrolisis
selulosa
juga dapat dilakukan dengan menggunakan mikrob yang menghasilkan enzim
selulase, seperti Trichoderma reesei, Trichoderma viride, dan
Aspergillus niger.
FERMENTASI
Teknologi dan peralatan yang diperlukan untuk proses
fermentasi gula dari selulosa pada prinsipnya sama dengan yang digunakan pada
fermentasi gula dari pati atau nira yang tersedia secara komersial. Pada proses
ini, gula-gula sederhana yang terbentuk difermentasi menjadi etanol dengan
bantuan khamir seperti Saccharomyces cerevisiae dan bakteri Zymmomonas
mobilis. Fermentasi biasanya dilakukan pada suhu 30°C, pH 5, dan sedikit
aerobik.
Pada proses SSF, hidrolisis selulosa dan fermentasi gula
tidak dilakukan secara terpisah atau bertahap, tetapi secara simultan. Mikrob
yang digunakan pada proses SSF biasanya adalah jamur penghasil enzim selulase,
seperti T. reesei, T. viride, dan khamir S. cerevisiae.
Suhu optimal proses SSF adalah 38°C, yang merupakan perpaduan suhu optimal hidrolisis
(45–50°C) dan suhu optimal fermentasi (30°C) (Sun dan Cheng 2002).
Proses SSF memiliki keunggulan dibandingkan dengan proses hidrolisis dan
fermentasi bertahap. Beberapa keunggulan tersebut adalah: 1) meningkatkan
kecepatan hidrolisis dengan mengonversi gula yang terbentuk dari hasil
hidrolisis selulosa yang menghambat aktivitas enzim selulase, 2) mengurangi
kebutuhan enzim, 3) meningkatkan rendemen produk, 4) mengurangi kebutuhan
kondisi steril karena glukosa langsung dikonversi menjadi etanol, 5) waktu
proses lebih pendek, dan 6) volume reaktor lebih kecil karena hanya digunakan
satu reaktor (Sun dan Cheng 2002).
KESIMPULAN
Proses atau teknologi konversi biomassa menjadi etanol atau bioetanol
sudah cukup mapan untuk biomassa penghasil karbohidrat jenis pati atau sukrosa,
seperti ubi kayu, tongkol jagung, ampas tebu, dan tandang kosong kelapa sawit.
Biomassa lignoselulosa memiliki masalah agak berbeda karena dalam bahan lignoselulosa
terdapat lignin yang terlebih dulu harus dipisahkan dari selulosa dan hemiselulosa.
Selain itu, selulosa merupakan senyawa yang mempunyai bagian yang berstruktur
kristal yang agak sulit didegradasi oleh mikrob atau enzim selulase.
DAFTAR PUSTAKA
DiPardo,
J. 2000. Outlook for biomass ethanol
production and demand. http://www.eia.doe.gov/oiaf/analysispaper/biomass.html. [20February 2005].
Eufrozina
Niga. Biotechnological Production of
Bioethanol from Different feedstocks. Universitatea Stefan Cel Mare
Suceava. Rumania
Hambali,
E., S. Mujdalipah, A.H. Tambunan, A.W. Pattiwiri, dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Hayn,
M., W. Steiner, R. Klinger, H. Steinmuller, M. Sinner, and H. Esterbauer. 1993.
Basic research and pilot studies on the
enzymatic conversion of lignocellulosics. p. 33–72. In
J.N.
Saddler (Ed.). Bioconversion of Forest
and Agricultural Plant Residues. CAB International, Wallingford.
Kim
Olofsson, Magnus Bertilsson and Gunnar Lidén .2008. an interesting process
option for ethanol production from lignocellulosic feedstocks. Biotechnology for biofuels.
Kompas.
2005. Emisi karbon gasohol lebih rendah
dibanding pertamax. Kompas 15 Februari 2005. hlm. 10.
Licht,
F.O. 2009. World ethanol production
growth to hit five-year low. World Ethanol and Biofuels Rep. 7(18): 365.
Sun, Y.
and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of
lignocellulosic materials for ethanol production: A review. Bioresour.
Technol. 83: 1–11.
Sun, Y. and J. Cheng. 2005. Dilute acid pretreatment of rye straw and bermuda grass for ethanol
production. Bioresour. Technol. 96: 1599−16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar