Senin, 23 Desember 2013

REVIEW PEMANFAATAN BIOMASSA LIGNOSELULOSA MENJADI BIOETANOL



EKA PUTRI RAHAYU
1112096000042
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
13 OKTOBER 2013
Ekaputri2808@gmail.com

ABSTRAK
Bahan lignoselulosa memiliki potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi seperti bioetanol. Konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol mendapat perhatian penting karena bioetanol dapat digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar bensin untuk keperluan transportasi. Biaya produksi etanol dari bahan lignoselulosa relatif tinggi, sehingga upaya penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan hidrolisis bahan lignoselulosa . Perlakuan Pendahuluan bahan lignoselulosa untuk menghapus lignin dan hemiselulosa secara signifikan dapat meningkatkan hidrolisis selulosa . Optimasi enzim selulase dan pengisian enzim juga dapat meningkatkan hidrolisis. Sakarifikasi dan fermentasi simultan efektif menghilangkan glukosa, yang adalah inhibitor untuk selulase aktivitas, sehingga meningkatkan hasil dan laju hidrolisis selulosa.
ABSTRACT
Utilization of lignocellulosic biomass for bioethanol production
Lignocellulosic materials have the potential to be developed into a source of energy such as bio-ethanol. Of many conversion processes, lignocellulosic conversion to ethanol becomes focus of interest recently, since ethanol can be further used as biofuel to substitute gasoline for transportation. The cost of ethanol production from lignocellulosic materials is relatively high, Considerable research efforts have been made to improve the hydrolysis of lignocellulosic materials. Pretreatment of lignocellulosic materials to remove lignin and hemicellulose can significantly enhance the hydrolysis of cellulose. Optimization of the cellulase enzymes and the enzyme loading can also improve the hydrolysis. Simultaneous saccharification and fermentation effectively removes glucose, which is an inhibitor to cellulase activity, thus increasing the yield and rate of cellulose hydrolysis.




PENDAHULUAN
Penelitian konversi bahan-bahan lignoselulosa menjadi etanol telah banyak dilakukan dalam dua dekade terakhir. Kegiatan ini tampaknya akan dan harus terus berlanjut dalam upaya mencari alternatif bahan bakar pengganti minyak bumi yang semakin menipis ketersediaannya. Berdasarkan prakiraan kebutuhan gasohol untuk kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2010 yang mencapai 200.000 kL, dan pada tahun 2015 dan 2020 masing-masing 600.000 dan 1,10 juta Kl (Kompas 2005).
Penggunaan etanol sebagai bahan bakar terus berkembang. Menurut Licht (2009), pada tahun 1999 produksi bahan bakar etanol mencapai 4.972 juta galon (setara 18.819 juta liter), dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 17.524 juta galon (setara 66.328 juta liter). Namun, biaya produksi etanol sebagai sumber energi masih relatif tinggi dibandingkan dengan biaya produksi bahan bakar minyak. Saat ini, biaya produksi etanol dari selulosa diperkirakan antara USD1,15 dan USD1,43 per galon atau per 3,785 liter (DiPardo 2000). Namun, dengan meningkatnya harga minyak bumi yang cukup tinggi akhir-akhir ini diharapkan etanol dapat semakin bersaing dengan bahan bakar minyak.
Ada beberapa faktor yang mendorong makin intensifnya dilakukan penelitian pemanfaatan bahan lignoselulosa menjadi sumber energi, dalam hal ini etanol. Pertama, kebutuhan dan konsumsi energi terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara sumber daya alam yang dapat menghasilkan energi makin terkuras karena sebagian besar sumber energi saat ini berasal dari sumber daya alam yang tidak terbarukan, seperti minyak, gas, dan batu bara. Kedua, bioetanol memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan bensin karena dapat meningkatkan efisiensi pembakaran (Hambali et al. 2007) dan mengurangi emisi gas rumah kaca (Costello dan Chum 1998; DiPardo 2000; Kompas 2005; Hambali et al. 2007). Ketiga, bahan lignoselulosa tersedia cukup melimpah dan tidak digunakan sebagai bahan pangan sehingga penggunaannya sebagai sumber energi tidak mengganggu pasokan bahan pangan. Di samping itu, etanol juga merupakan bahan kimia yang banyak fungsinya dalam kehidupan sehari-hari.
Senyawa lignoselulosa terdiri atas tiga komponen utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang merupakan bahan utama penyusun dinding sel tumbuhan. Konversi bahan lignoselulosa menjadi etanol pada dasarnya terdiri atas tiga tahap, yaitu perlakuan pendahuluan, sakarifikasi, dan fermentasi. Untuk memperoleh fuel-grade ethanol, dilakukan pemurnian yang terdiri atas distilasi dan dehidrasi. Dengan mengamati potensi biomassa lignoselulosa, perlu dilakukan pengkajian terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan para peneliti untuk memanfaatkan bahan tersebut. Tulisan ini mengkaji pemanfaatan biomassa lignoselulosa untuk produksi bioetanol.

PERLAKUAN PENDAHULUAN
Tujuan dari perlakuan pendahuluan adalah untuk menghilangkan lignin dan hemiselulosa, mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Perlakuan pendahuluan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan untuk kemudian membentuk gula oleh hidrolisis enzimatik, (2) menghindari degradasi atau kerugian karbohidrat, (3) menghindari pembentukan produk sampingan inhibitor untuk hidrolisis berikutnya dan fermentasi proses, dan (4) biaya efektif.  Perlakuan Pendahuluan bahan Lignoselulosa dilihat pada Tabel 1.

SAKARIFISASI
Pada tahap sakarifikasi, selulosa diubah menjadi selobiosa dan selanjutnya menjadi gula-gula sederhana seperti glukosa. Hidrolisis selulosa dilakukan secara enzimatis. Proses hidrolisis secara enzimatis biasanya berlangsung pada kondisi yang ringan (pH sekitar 4,80 dan suhu 45–50°C) dan tidak menimbulkan masalah korosi. Kelemahannya adalah harga enzim cukup mahal. Komponen biaya enzim dapat mencapai 53–65% dari biaya bahan kimia, dan biaya bahan kimia sekitar 30% dari biaya total.
Enzim selulase biasanya merupakan campuran dari beberapa enzim, Sedikitnya ada tiga kelompok enzim yang terlibat dalam proses hidrolisis selulosa, yaitu 1) endoglukanase yang bekerja pada wilayah serat selulosa yang mempunyai kristalinitas rendah untuk memecah selulosa secara acak dan membentuk ujung rantai yang bebas, 2) eksoglukanase atau selobiohidrolase yang mendegradasi lebih lanjut molekul tersebut dengan memindahkan unit-unit selobiosa dari ujungujung rantai yang bebas, dan 3) β-glukosidase yang menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Jumlah enzim yang diperlukan untuk hidrolisis selulosa berbeda-beda, bergantung pada kadar padatan tidak larut air (water insoluble solids) pada bahan yang akan dihidrolisis. Sampai tahap tertentu, semakin banyak selulase yang digunakan, semakin tinggi rendemen dan kecepatan hidrolisis, namun juga meningkatkan biaya proses. Hidrolisis
selulosa juga dapat dilakukan dengan menggunakan mikrob yang menghasilkan enzim selulase, seperti Trichoderma reesei, Trichoderma viride, dan Aspergillus niger.
FERMENTASI
Teknologi dan peralatan yang diperlukan untuk proses fermentasi gula dari selulosa pada prinsipnya sama dengan yang digunakan pada fermentasi gula dari pati atau nira yang tersedia secara komersial. Pada proses ini, gula-gula sederhana yang terbentuk difermentasi menjadi etanol dengan bantuan khamir seperti Saccharomyces cerevisiae dan bakteri Zymmomonas mobilis. Fermentasi biasanya dilakukan pada suhu 30°C, pH 5, dan sedikit aerobik.
Pada proses SSF, hidrolisis selulosa dan fermentasi gula tidak dilakukan secara terpisah atau bertahap, tetapi secara simultan. Mikrob yang digunakan pada proses SSF biasanya adalah jamur penghasil enzim selulase, seperti T. reesei, T. viride, dan khamir S. cerevisiae. Suhu optimal proses SSF adalah 38°C, yang merupakan perpaduan suhu optimal hidrolisis (45–50°C) dan suhu optimal fermentasi (30°C) (Sun dan Cheng 2002).
Proses SSF memiliki keunggulan dibandingkan dengan proses hidrolisis dan fermentasi bertahap. Beberapa keunggulan tersebut adalah: 1) meningkatkan kecepatan hidrolisis dengan mengonversi gula yang terbentuk dari hasil hidrolisis selulosa yang menghambat aktivitas enzim selulase, 2) mengurangi kebutuhan enzim, 3) meningkatkan rendemen produk, 4) mengurangi kebutuhan kondisi steril karena glukosa langsung dikonversi menjadi etanol, 5) waktu proses lebih pendek, dan 6) volume reaktor lebih kecil karena hanya digunakan satu reaktor (Sun dan Cheng 2002).
KESIMPULAN
Proses atau teknologi konversi biomassa menjadi etanol atau bioetanol sudah cukup mapan untuk biomassa penghasil karbohidrat jenis pati atau sukrosa, seperti ubi kayu, tongkol jagung, ampas tebu, dan tandang kosong kelapa sawit. Biomassa lignoselulosa memiliki masalah agak berbeda karena dalam bahan lignoselulosa terdapat lignin yang terlebih dulu harus dipisahkan dari selulosa dan hemiselulosa. Selain itu, selulosa merupakan senyawa yang mempunyai bagian yang berstruktur kristal yang agak sulit didegradasi oleh mikrob atau enzim selulase.
DAFTAR PUSTAKA
DiPardo, J. 2000. Outlook for biomass ethanol production and demand. http://www.eia.doe.gov/oiaf/analysispaper/biomass.html. [20February 2005].
Eufrozina Niga. Biotechnological Production of Bioethanol from Different feedstocks. Universitatea Stefan Cel Mare Suceava. Rumania
Hambali, E., S. Mujdalipah, A.H. Tambunan, A.W. Pattiwiri, dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia Pustaka, Jakarta.      
Hayn, M., W. Steiner, R. Klinger, H. Steinmuller, M. Sinner, and H. Esterbauer. 1993. Basic research and pilot studies on the enzymatic conversion of lignocellulosics. p. 33–72. In
J.N. Saddler (Ed.). Bioconversion of Forest and Agricultural Plant Residues. CAB International, Wallingford.
Kim Olofsson, Magnus Bertilsson and Gunnar Lidén .2008. an interesting process option for ethanol production from lignocellulosic feedstocks. Biotechnology for biofuels.
Kompas. 2005. Emisi karbon gasohol lebih rendah dibanding pertamax. Kompas 15 Februari 2005. hlm. 10.
Licht, F.O. 2009. World ethanol production growth to hit five-year low. World Ethanol and Biofuels Rep. 7(18): 365.
Sun, Y. and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production: A review. Bioresour. Technol. 83: 1–11.
Sun, Y. and J. Cheng. 2005. Dilute acid pretreatment of rye straw and bermuda grass for ethanol production. Bioresour. Technol. 96: 1599−16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar